BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Puji syukur kehadirat Ilahi robbi yang telah memberikan nikmat iman dan islam seperti yang kita rasakan sekarang. Shalawat serta salam, tak lupa kita haturkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW yang telah membwa umatnya dari zaman orang naik onta sampai naik honda.
Berawal dari kebingungan dalam memilih novel yang tepat, dengan mondar-mandir di sela-sela rak buku perpustakaan, terlihatlah satu novel berjudul "Gadis Pantai" yang tak lin dan tidak bukan hasil coretan dari sastrawan legendaris Pramoedya Ananta Toer.
Satu hal yang menarik perhatian saya adalah bagaimana beliau yang semasa hidupnya lebih banyak dihabiskan dibalik jeruji besi, bisa melahirkan banyak karya-karya hebat. Ironi sebenarnya, tapi patut dijadikan sumber motivasi bagi kaum muda sekarang.
Terlepas dari biografi pengarang, novel berjudul "Gadis Pantai" sangat menarik, dimana kisah gadis belia yang hidup dipesisir pantai di daerah rembang Jawa Tengah mendapati dirinya terpaksa dewasa akibat perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya, kehidupan jawa kuno yang kolot dan dipengaruhi oleh adat belanda merupakan daya pikat dari novel ini yang patut disimak.
Kali ini, saya akan memaparkan unsur-unsur eksintrik dan insintrik dari novel ini, semoga bisa bermanfaat bagi pembaca dan penyimak. Amien.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang pemakalah akan mencoba menganalisisnya adalah sebagai berikut:
1. Siapakah tokoh-tokoh yang ada dalam novel ini?
2. Bagaimana sifat dan karakter dari masing-masing tokoh?
BAB II
PEMBAHASAN
A. TOKOH
Karya sastra novel tidaklah asing terdengar bagi kita masyarakat indonesia, demikian juga untuk para mahasiswa Perguruan Tinggi seperti kita. Di dalam sebuah karya sastra novel akan selalu terdapat unsur insintrik yang meliputi: tokoh, penokohan (karakter), alur (plot), setting dan tema novel itu sendiri.
Novel ini menggunakan beberapa tokoh, yaitu: Gadis pantai (Mas Nganten) selaku tokoh utama. Emak alias Ibu dari si Gadis Pantai, Bapak atau ayah si Gadis Pantai, Bendoro[1] suami si Gadis Pantai, Mbok (pelayan Mas Nganten), Mardinah (pelayan baru Mas Nganten, kemenakan jauh bendoro).
B. ANALISIA KARAKTER
Penulisan novel tidak lepas dari pembuatan dan penggambaran tokohnya. Tokoh-tokoh dalam cerita novel tergambar jelas melalui narasi-narasi penulis/novelis serta dialog-dialog yang tersaji di dalamnya.
Di atas sudah kami sebutkan beberapa tokoh yang hadir di dalam novel “Gadis Pantai” karya Pramoedya Ananta toer, berikut analisia karakter tokoh-tokoh dalam novel:
1. Gadis Pantai (Mas Nganten).
Wanita muda berumur empat belas tahun, mempunyai “kulit langsat, tubuh kecil mungil, mata agak sipit dan hidung ala kadarnya” (Toer, 2003, hal. 11). Ini sedikit gambaran mengenai fisik tokoh utama dalam novel “Gadis Pantai”.
Cantik, kata ini juga cocok disematkan untuk tokoh utama “aku ini?” bisiknya pada cermin “cantik sekali” (Toer, 2003, hal. 29). Saat ia bercermin setelah bersolek dan memandangi dirinya serta memuji kecantikan wajahnya sendiri.
Sedang karakter Gadis Pantai yang tergambar pertama kali adalah cengeng, “sst. Jangan nangis. Hari ini kau jadi istri pembesar” (Toer, 2003, hal. 12). Dialog ini diucapkan oleh emak si Gadis Pantai di sela perjalanan mereka ke rumah salah satu pembesar di kota. Kata-kata jangan nangis di ulang sampai tiga kali oleh si emak “sst. Jangan nangis. Mulai hari ini kau tinggal di gedung besar, nak. Tidak lagi di gubuk. Kau tak lagi buang air di pantai. Kau tak lagi menjahit layar dan jala, tapi sutera, nak. Sst, ssst. Jangan nangis.” (Toer, 2003, hal. 12-13). Dari kutipan di atas, Gadis Pantai menangis tak henti-hentinya selama perjalanan, karena dia mengalami hal. yang berbeda dengan rutinitas kesehariannya.
Karakter yang tampak adalah lugu, “ambil ini buat mak!” menyodorkan kain sutra untuk emaknya (Toer, 2003, hal. 13). Saking lugunya, kain sutra yang menurut orang kebanyakan itu mahal. dan mewah ia serahkan tanpa ada rasa sesal sedikitpun kepada emaknya.
Karakter Gadis Pantai selanjutnya adalah penurut dan patuh, sangat jelas terlukiskan bahwa si tokoh utama ini gadis penurut. Berikut kutipan dialognya: “Tidak, tidak, akulah sahaya emakku. Di kampungku aku lakukan segala perintahnya, aku akan terus lakukan perintahnya.” (Toer, 2003, hal. 58). Pernyataan Gadis Pantai diatas membuktikan bahwa karakter penurut dan patuh kepada orang tua melekat pada diri si tokoh utama.
Si Gadis Pantai sebagai tokoh utama mempunyai karakter cerdas, meskipun tidak ada ulasan mengenai jenjang pendidikan di dalam novel ini karena di zamannya belum ada kewajiban bagi warga untuk mengenyam pendidikan formal. Berikut kutipan narasi yang menjadi dasar karakter kecerdasan tokoh utama:
“gadis pantai mulai membatik, seorang guru batik didatangkan. di pagi hari, tangannya yang telah diperhal.us oleh keadaan tanpa kerja, mulai memainkan pinsil membuat pola. Seminggu sekali datang guru yang mengajarinya memasak kue. Dan setiap tiga hari sekali, datang guru lain yang menyampaikan padanya kisah-kisah agama dari negeri gurun pasir nan jauh.” (Toer, 2003, hal. 69).
Kutipan di atas meski tidak ada kata langsung yang menerangkan akan kecerdasan sang tokoh, kami menganggapnya cerdas karena dalam seminggu sang tokoh mengikuti 2-3 kursus keterampilan ataupun belajar agama, itulah mengapa kami menyimpulkan bahwa si Gadis Pantai cerdas.
Dan karakter terakhir yang bisa kami tangkap adalah pemalu, karakter ini kami temukan ketika sang tokoh melakukan rutinitas sarapan pagi bersama Bendoro (sang suami), “mana Mas Nganten lebih suka? Bubur? Roti? Atau jeruk saja?”. Apa saja gadis pantai mau, asal tanpa pengawasan siapapun(Toer, 2003, hal. 42). Betapa pemalu sang tokoh yang tidak berani mengungkapkan keinginannya ketika makan pagi bersama suaminya, ia lebih nyaman memakan sesuatu tanpa pengawasan siapapun.
Itulah beberapa analisis fisik dan sifat dari tokoh utama si Gadis Pantai atau sering disebut Mas Nganten yang telah kami lakukan. Mas Nganten mempunyai ciri-ciri tubuh kecil berkulit kuning langsat dan berhidung ala kadarnya yang cenderung cantik, dia memiliki karakter antara lain: cengeng, lugu, cerdas dan pemalu.
2. Emak (Ibu Gadis Pantai).
Secara garis besar si Emak hanya tergambar wanita tua, tidak ada gambaran khusus mengenai fisik si Emak.
Beberapa sifat Emak ada pada sifat Ibu-Ibu pada umumnya, seperti tabah dan sabar. Contoh dalam dialog, “lihat aku nak!, dari kecil sampai setua ini tidak pernah memakai kain seperti yang kau pakai” (Toer, 2003, hal. 13). Percakapan yang terjadi antara Ibu dan anak yang ingin menunjukkan betapa beruntungnya si anak akan nasibnya dengan mengungkapkan sejarah dirinya yang tak lain bersabar akan nasib yang tidak memihak dirinya.
Karakter lain juga tergambar pada si emak, yaitu pelindung dan pengayom. Saat sang Ayah memarahi tokoh utama karena tangisannya yang tidak kunjung berhenti, “biarkan dia pak, biarkan” (Toer, 2003, hal. 13). Si Emak menyuruh si Ayah untuk membiarkan anaknya menangis dalam pelukannya.
Penggambaran fisik yang minim dan mempunyai karakter tabah dan sabar, pelindung juga pengayom dimiliki oleh tokoh si Emak dalam novel ini.
3. Bapak (Ayah Gadis Pantai)
Layaknya laki-laki yang berprofesi sebagai nelayan, si Bapak “berotot perkasa” (Toer, 2003, hal. 13). Karena seringnya melaut dan mencari ikan yang telah menjadi profesinya, membutuhkan tenaga besar untuk menarik jala yang terisi ikan dan udang. Rutinitas tersebut cukup membuat otot-otot si Bapak mengeras dan menjadi perkasa.
Kasar juga lekat pada karakter si Bapak, “kamu mau diam, tidak?” (Toer, 2003, hal. 13) gertakan untuk Gadis Pantai yang tidak mau menghentikan tangisannya.
Karakter si Bapak ini ringan tangan, seperti tercontoh pada narasi berikut: “ia tahu sering kena pukul dan tampar tangannya” (Toer, 2003, hal. 13). Narasi ini menggambarkan si Tokoh Utama yang berbicara dalam hati mengenai seringnya tangan si Bapak mendarat di pipinya.
Sejatinya nelayan, si Bapak sangatlah pemberani. “pemberani itu yang menentang laut melawan badai, mengaduk laut, menangkap ikan setiap hari” (Toer, 2003, hal. 180). Keberanian yang dimiliki si Bapak terlihat pada kutipan tersebut dengan menentang mengaduk laut demi menghidupi keluarganya dengan menghiraukan bahaya yang mengintai tiap saat.
Tiga karakter yang sangat menonjol, kasar, ringan tangan dan pemberani melekat pada tokoh si Bapak. Sebagai laki-laki pemimpin rumah tangga, si Bapak memiliki keberanian menantang bahaya demi menghidupi keluarga meski agak kasar dan ringan tangan terhadap anak-anaknya untuk mengajarkan kebaikan.
4. Bendoro (Suami Gadis Pantai)
Tokoh sentral kedua adalah bendoro yaitu suami Gadis Pantai, penggambaran fisik dalam novel tentunya mendekati sempurna, bendoro itu:
“Bertubuh tinggi, kuning langsat, berwajah agak tipis dan berhidung mancung. Ia berkopyah haji dan berbaju teluk belanga dari sutera putih dan bersarung bugis hitam dengan beberapa genggang putih tipis-tipis” (Toer, 2003, hal. 31).
Gambaran di atas sangatlah sederhana, tapi fisik bendoro merupakan idaman bagi para pria. Sarung bugis yang dikenakan bendoro adalah sarung termahal dan terbagus pada zamannya.
Bendoro berkarakter lunak, lembut dan sopan, “tanpa melihat dirasainya orang itu membuka kelambu dan didengarnya bisikan perlahan: “Mas Nganten””. (Toer, 2003, hal. 31). Panggilan lembut bendoro kepada Gadis Pantai begitu lembut. Perlakuan laki-laki seperti itu sangat didambbakan pleh kaum hawa.
Ada kutipan lagi yang mendasari sifat bendoro yang satu ini, ““Mas Nganten, mari!” ia dengar suara bendoro. Ia sudah hafal suara itu: lunak, lembut, sopan”. (Toer, 2033, hal. 39). Suara lembut bendoro yang memapah Gadis Pantai dengan menggenggam tangannya menyusuri ruang belakang rumah besar itu.
Lelaki satu ini begitu perhatian, banyak dialog yang menggambarkan perhatian dia terhadap pasangannya, berikut beberapa dialognya: “betapa kasarnya tanganmu, disini kau tak boleh kerja. Tanganmu harus halus seperti beludru. Wanita utama tak boleh kasar” (Toer, 2003, hal. 32). Tangan kasar Gadis Pantai mendapat komentar dari Bendoro, maka lahirlah peraturan untuk si Gadis Pantai agar tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar biar halus tangannya karena dia wanita utama di rumah itu.
Dialog selanjutnya adalah percakapan suami istri antara Bendoro dan Gadis Pantai di atas ranjang, “kau senang disini?”, “sahaya Bendoro”, “kau suka pakaian sutera”, “sahaya Bendoro” (Toer, 2003, hal. 32-33). Percakapan di antara mereka terjadi ketika malam sudah makin larut, si Bendoro bertanya kepada Gadis Pantai bagaimana perasaannya selama tinggal di rumah besar ini dan apakah dia suka dengan pakaian mewah disini, begitu khawatir si Bendoro akan apa yang dirasakan oleh sang istri, hingga lahirlah pertanyaan itu.
Selain lunak, lembut, sopan dan perhatian, si Bendoro memiliki sifat egois dan tidak berperikemanusiaan. Sifat itu tergambar pada kutipan ini, “jadi sudah lahir dia. Aku dengar perempuan bayimu, benar?” (Toer, 2003, hal. 253). Dengan tidak mendekati si Gadsi Pantai, si Bendoro hanya berucap memalui daun pintu menanyakan jenis kelamin anaknya yang baru lahir lalu pergi, tidak mengindahkan bagaimana perjuangan seorang wanita yang mempertaruhkan nyawanya dalam proses persalinan, sangatlah egois dan tidak berperikemanusiaan sekali.
“Seribu ampun Bendoro. Sahaya dengar tuanku telah ceraikan sahaya”. Gadis Pantai terlupa pada ketakutannya demi bayinya. “apa kau tak suka”, “sahaya cuma seorang budak yang harus jalani perintah Bendoro”. “apalagi?”. (Toer, 2003, hal. 257).
Kutipan di atas adalah gambar keegoisan si Bendoro, ketika kemauannya memiliki bayi laki-laki tak terwujud, tanpa belas kasihan dia memisahkan ibu dari bayinya menceriakan si Gadis Pantai dan memerintahkan untuk meninggalkan bayi perempuannya di rumah itu.
Masih banyak gambaran karakter si Bendoro yang bengis, tapi kutipan di atas sudah mewakili dari karakter ini. Si Bendoro dengan gambaran sempurna seorang laki-laki, seorang jawa yang bekerja pada pemerintahan administrasi Belanda mempunyai karakter, lunak, lembut, sopan dan perhatian sekaligus egois dan tidak berperikemanusiaan secara bersamaan jika kita bandingkan dengan zaman sekarang. Tapi di zamannya sangatlah sah jika prilaku seorang priyayi atau Bendoro berbuat seperti itu, karena wanita hanyalah hiasan san pemuas nafsu belaka.
5. Mbok (Pelayan Mas Nganten)
Tokoh si Mbok tidak pernah disebutkan nama aslinya, sama seperti si Bendoro dan tokoh-tokoh lain yang tak tersebut namanya. Berperawakan tua khusus seorang pengabdi keraton atau rumah-rumah besar seorang Priyayi. Di dalam novel tidak diceritakan secara rinci perawakan wanita yang satu ini, hanya wanita yang sudah berumur dan sarat pengalaman saja.
Sifat yang pertama menonjol pada diri si Mbok adalah sopan, “bujang itu membungkuk padanya, begitu rendah” (Toer, 2003, hal. 26). Si Mbok membungkukkan badannya ketika hendak menghadap majikannya, adat yang masih sering kita lihat sampai saat ini di daerah-daerah tengah Jawa, seperti Solo dan Yogjakarta.
Si Mbok memanglah seorang budak di rumah itu, tapi dia memiliki sifat disipilin, itu tergambar pada dialog berikut:
“Ceh ceh ceh. Itu tidak layak bagi wanita utama, Mas Nganten. Wanita utama cukup menggerakkan jari dan semua akan terjadi. Tapi sekarang ini, sahaya inilah yang mengurus Mas Nganten. Sebelum bendoro memberi izin, Mas Nganten belum bisa bertemu. Mari, mari sahaya mandikan. Pakai selop ini.” (Toer, 2003, hal. 28).
Sekarang mungkin bisa kita artikan bahwa si Mbok ini seperti sekretaris pribadi, yang mengatur seluruh jadwal kita. Itulah yang peran yang dilakukan oleh dia dalam novel ini, mengatur keseharian Mas Nganten mulai bangun hingga tertidur kembali.
Sifat yang muncul dalam diri si Mbok berikutnya adalah tegas,““Tak da orang berani berlaku kasar terhadap wanita utama” peringatan mbok kepada ayah Mas Nganten”” (Toer, 2003, hal. 44). Gertakan si Mbok kepada ayah Mas Nganten ini terhitung berani, ditinjau dari posisi si Ayah adalah mertua dari majikannya sendiri. Karena ketegasan si Mbok dalam melaksanakan peraturan di rumah itu, yaitu tidak boleh ada seorangpun dalam rumah itu berlaku kasar terhadap wanita utama yang saat itu adalah Gadis Pantai selaku Mas Nganten dari Bendoro, maka ayahnya yang menghardik anaknya pun di tegur oleh si Mbok.
Layaknya seorang pelayan, si Mbok berdidikasi terhadap pekerjaannya. Tampak jelas sifat si Mbok pada dialog ini, “Sahaya, Mas Nganten. Sahaya suka pada bocah. Entah sudah berapa bocah saya besarkan. Sudah limabelas tahun lebih sahaya tinggal disini” (Toer, 2003, hal. 65). Bertahun-tahun si Mbok mengabdikan dirinya di rumah itu sebagai pelayan wanita utama, tidak pernah berganti profesi bukan karena tidak ada niat tapi lebih cenderung pasrah dengan nasib yang mengatur garis kehidupannya. Kami menganggap si Mbok berdedikasi terhadap pekerjaannya ini sangatlah sepadan, meski bukan kemauan si Mbok menjadi pelayan sampai bertahun-tahun tapi tetap saja si Mbok melakukan tugasnya dengan tulus dan ikhlas melayani, itulah sebabnya kami menganggap dedikasi Mbok terhadap pekerjaannya sangatlah tinggi.
6. Mardinah (Pelayan Baru, Kemenakan Jauh Bendoro)
Lain dari tokoh-tokoh sebelumnya, takoh ini tersebutkan namanya yaitu Mardinah, wanita muda berumur empat belas tahun, “Lebih tinggi dari dirinya, air mukanya jernih” (Toer, 2003, hal. 123). Paras yang cantik dari Mardinah ini mengusik ketenangan si Gadis Pantai, narasi di atas adalah ucapan hati dari Mas Nganten yang mengamati Mardinah dengan seksama.
Sifat atau karakter tokoh ini, identik dengan tokoh-tokoh antagonis pelengkap cerita dari novel ini. Sifat yang pertama adalah sombong, berikut dialog antara Gadis Pantai dengan Mardinah:
“Ah, Mas Nganten. Mas Nganten kan orang kampung?”, “benar, aku orang dari kampung, dan aku tidak menyesal berasal dari kampung. Siapa kau sebenarnya?”, “yang jelas, sahaya bukan berasal dari kampung”, “apa bapak Mas Nganten? Nelayan, bukan? Benar, sahaya tidak salah. Mas Nganten tahu siapa orangtua sahaya? Pensiunan jurutulis” (Toer, 2003, hal. 124-125).
Tampak jelas kesombongan tokoh ini, membanggakan dirinya dan membanding-bandingkan dirinya dengan Mas Nganten yang berasal dari kampung dan dia bukan orang kampung.
Satu lagi karakter si antagonis ini adalah keji, berikut dialognya:
“Ngaku cepat!”, “bendoroku janjikan aku, aku..... jadi.....”, “cepat! Kalau tidak aku lecut dengan buntut pari”, “istri... istri, istri, istri kelima, kalau...”, “kalau apa?”, “kalau, kalau, kalau aku dapat, dapat usahakan....”, “cepat!”, “putrinya, dapat... dapat... jadi istri Bendoro, Bendoro suami Mas... Mas Nganten” (Toer, 2003 hal. 222-223).
Di atas adalah dialog antara Ayah Mas Nganten dengan Mardinah, hardikan-hardikan si Ayah membuat takut Mardinah dan mengungkapkan maksud jahat Mardinah. Maksud dia adalah mengajak Mas Nganten kembali ke kota dengan titah Bendoro palsu, kemudian di tengah perjalanan Mardinah akan menghabisi Mas Nganten agar niat Bendoronya (Kanjeng Putri Demak) menikahkan putrinya dengan Bendoro suami Mas Nganten terlaksana dan lancar tanpa hambatan.
BAB III
SIMPULAN
Banyak tokoh yang hadir dalam cerita novel ini, tapi hanya beberapa tokoh saja yang pemakalah kupas yang sekiranya sangat dominan dalam dialog dan menampakkan karakter-karakter khusus dari masing-masing tokoh.
Dari tokoh-tokoh itu, bisa kita ambil manfaat dari segala sisi tergantung dari bagaimana kita memaknai setiap peran dari masing-masing tokoh. Pembaca juga akan ikut berkomentar jika ada ruang untuk berkomentar di novel ini. Keberagaman tokoh dengan latar belakang sosial yang berbeda pula menghadirkan situasi yang mengasikkan untuk dicermati, yang sangat kontras adalah perbedaan ideologi dari individu yang tinggal di desa dan individu yang tinggal di kota, yang satu begitu sederhana menghadapi kehidupan dan tidak mempunyai aturan-aturan baku dalam menjalaninya, yang satu lagi begitu ruwet dan njlimet ketika akan melakukan satu hal yang sederhana.
Karakter-karakter yang telah kami telaah adalah contoh dari beberapa karakter yang ada disekitar kita, beberapa karakter tokoh di novel ini terkadang terdapat pada salah satu dari karakter kita sendiri. Karakter-karakter itu bisa kita golongkan ke dua golongan, antagonis dan protagonis. Tidaklah indah jika suatu cerita di dalam suatu novel hanya mengusung tokoh protagonis saja, karena adanya tokoh yang berkarakter antagonis itu bisa menguatkan karakter tokoh yang antagonis.
Demikian pemaparan tentang analisa tokoh dan penokohan yang telah kami uraikan di atas, semoga bermanfaat bagi pembaca umumnya dan pemakalah sendiri khususnya. Amien.
Komentar
Posting Komentar